Sebuah Celoteh untuk Calon Peserta
Didik Baru SMP/SMA Kota Mataram
Oleh : Usman Jayadi
“Tujuan
kita dalam hidup seharusnya saling melihat satu dan lainnya secara menyeluruh,bukan
melalui satu dan lainnya.” Demikian yang ditulis seorang
ilmuan yang bernama Zig Ziglar dalam bukunya yang terjual jutaan copy di
seluruh dunia dengan judul See You at The
Top. Hal ini dapat menjadi pelajaran bagi kita selaku orang tua, bahwa
Kehidupan anak-anak kita akan berkualitas apabila mereka diajarkan ilmu
menghargai. Mungkin melalui PPDB inilah paling tidak kita mnegajarkan anak-anak
kita untuk menghargai betapa prestasi yang semula kita anggap tidak baik,
ternyata hasilnya pun sangat luar biasa baiknya.
Hari ini, satu masalah besar akan menjadi
paradoks bagi mereka yang menginginkan anak-anaknya menjadi manusia bermanfaat
yang akan membuat mereka tersenyum bahagia, penuh dengan kebanggaan, dan penuh
dengan harapan mulia tanpa keraguan akan prestasi putra-putrinya.
Mencari sekolah bak mencari buah-buahan
di pasar buah. Di tempat ini bagus, di tempat itu bagus. Di tempat ini lebih
besar, di sana juga sama besar. Di sini mahal, di sana juga demikian. Lantas,
apa yang dapat dilakukan??? Mungkin, membeli buah itu dengan keterpaksaan atau
malah mengurungkan niat untuk membelinya. Kalau menurut saya, ambil saja buah
yang kecil kalau harganya lebih murah. Rasanya juga kan rasa buah…!!!
Secuil harapan memang merupakan langkah
awal untuk menggapai apa yang diinginkan. Terkadang, lebih baik tidak memilih
daripada harus mempertahankan egoisme dengan satu tujuan kesombongan. Mungkin,
bagi orang yang mampu berapa pun harga buah tersebut akan dibelinya. Lantas,
bagaimana dengan mereka yang hanya ingin saja???
Beberapa masalah bermunculan. Tengok
saja mulai hari ini! Pasti beberapa masalah akan ada meskipun seribu sumpah
berserakan. Sekolah ini gratis tanpa pungutan, tapi belajarnya harus dengan
uang yang nyata dan penuh dengan kwitansi-kwitansi kemaksiatan. Orang yang kaya
raya sudah berada di urutan terdepan, sedangkan si miskin papa hanya
ikut-ikutan nge-online meskipun
tujuan yang diharapkan sama dengan mereka yang punya uang.
Orang tua menjadi sasaran sang anak.
“Pak, Bu! Saya harus sekolah di SMP/SMA ini” padahal nilai jeblok, dan terpaksa
harus melewati BL (Belakang Lewat). Lewat belakang ya uangnya!!! Yang penting
anaknya dapat menjadi sumber gengsi, akhirnya berjuta-juta pun uang harus keluar meskipun melalui hutang besar.
“Sekolah dekat rumah kan banyak, Nak!” Tanya sang orang tua. “Ndak mau, harus
di sekolah Kota, pokoknya” jawab sang anak.
Luar biasa memang, yang salah siapa???
Dari sekolah elit, nilainya kok jeblok. Yang dari sekolah pinggiran dapat
langsung masuk setelah online dibuka.
sebenarnya ini merupakan inspirasi bagi kita. Tidak ada sekolah yang tidak
belajar, tidak ada sekolah yang tidak bagus, tidak ada sekolah yang tidak punya
kepala sekolah dan guru, tidak ada sekolah yang tidak ujian. Lantas, apa
bedanya ya sekolah kota dengan sekolah pinggiran??? Paling bedanya hanya
banyakan keluarin uang saja, bukan??? Kalau masalah nilai, nilai UN-nya sekolah
pinggiran juga tidak jauh beda dengan sekolah di perkotaan. Kualitas hasil
didikan sekolah pinggiran juga mampu bersaing dengan alumni sekolah-sekolah di
perkotaan. Tinggal kitanya saja sebenarnya sebagai orang tua yang harus berani
mengambil sikap untuk memacu anak-anak kita dengan motivasi berharga supaya
mereka menjadi buah-buahan yang tidak rusak dan harganya pun mahal.
Sistem Online yang diberlakukan Dinas Dikpora Kota Mataram dalam
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) empat tahun terakhir ini merupakan langkah
awal ketransparanan kualitas sekolah di perkotaan dengan sekolah pinggiran.
Lihat saja rekapnya nanti, kebanyakan yang lulus di sekolah-sekolah favorit
kebanyakan sekolah-sekolah yang ada di pinggiran.
Paling tidak, tulisan ini dapat
menginspirasi kita semua bahwa kualitas generasi masa depan bukan saja berasal
dari sekolah perkotaan, melainkan bagaimana generasi masa depan kita memberanikan
diri bersaing dengan sekolah-sekolah elit masa depan. Ini memang tidak terlepas
dari bagaimana sekolah-sekolah baik di perkotaan maupun di pinggiran
mengeksplorasi visi dan misi yang menjadi harapan dan tujuan sekolahnya.
Marilah kita berpikir sejenak, semua
sekolah di Kota Mataram rata-rata bagus semua. Oleh karena itu, kebijakan yang
diambil Dinas Dikopora Kota Mataram pada system online tahun ini adalah calon
peserta didik baru hanya diperbolehkan memilih satu sekolah lanjutan, tidak
seperti tahun-tahun sebelumnya. Paling tidak kebijakan ini mampu memberikan
toleransi kepada masyarakat untuk memilih sekolah-sekolah terdekat supaya para
orang tua dapat mengontrol sekolah tempat putra-putrinya melanjutkan nantinya.
Secuil harapan dan semoga menjadi
kenyataan, PPDB tahun ini jauh lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya.
Dinas Dikpora Kota Mataram harus berani mengambil tindakan tegas, kalau memang
peserta didik nilainya tidak dapat diterima di sekolah tujuan, lebih baik
langsung diarahkan menuju ke sekolah-sekolah swasta yang kekurangan siswa.
Paling tidak ini sebagai bukti bahwa pemerintah juga harus memerhatikan
sekolah-sekolah swasta yang kualitasnya juga tidak jauh dengan sekolah-sekolah
negeri di daerah kita.
Akhirnya, selamat mengikuti dan menyukseskan
proses PPDB tahun ini semoga dapat berjalan dengan aman, tetap pada
ketransparanan, dan penuh dengan kejujuran prestasi. Kepada semua orang tua
hendaknya PPDB tahun ini menjadi bahan renungan bahwa sekolah-sekolah yang ada
di daerah kita kualitas dan kuantitasnya hampir sama. Orang tua juga harus
menyadari kelemahan putra-putrinya, memacu mereka untuk terus bersekolah
meskipun di sekolah yang mungkin kalau menurut mereka tidak baik. Bukan
menyalahkan dan memberanikan diri memaksakan setiap keraguan yang ada dengan
nilai yang pas-pasan. Untuk anak-anakku sekalian, sempurnakan ikhtiar kalian
untuk menunjukkan kualitas dan kesempurnaan diri kalian meskipun di sekolah
lanjutan yang dianggap tidak berprestasi. Tugas dan kewajiban kalian-lah untuk
mempersembahkan prestasi terbaik untuk sekolahmu nanti!!! Semoga sukses!!!
(Lombok Post, 2012)
(Lombok Post, 2012)
0 komentar: