Navigation Menu

MENYONGSONG HIJRIYAH, MENGENANG SEJARAH

MENYONGSONG HIJRIYAH, MENGENANG SEJARAH
oleh : Usman Jayadi
Pengertian hijrah menurut bahasa/etimologi adalah berpindah dari tempat yang satu ke tempat berikutnya. Sedangkan  menurut arti istilah/terminologi adalah berpindah dari satu medan juang yang sempit (karena terdesak oleh situasi keamanan yang tidak kondusif) menuju ke arena yang lebih luas dan memberikan harapan di masa mendatang, di mana  hal ini merupakan suatu taktik dan strategi dalam perjuangan untuk menyampaikan risalah/dakwah Islamiyah.
HAKIKAT HIJRAH NABI
Banyak komentar tentang hal ini dari kalangan ilmuan Barat, bahwa hijrahnya Nabi Muhammad itu adalah sebagai usaha to be differentmen(mengubah dari wajah seorang guru agama di Mekkah menjadi kepala suku di Madinah). Adalagi yang memandangnya sebagaitransfiguration (penanjakan pribadi Muhammad) atau sebagai geographical emigration (perpindahan tempat untuk berdakwah). Bahkan ada pula yang dengan nada ‘sinis’ mengatakan bahwa  hijrah ini adalah flaight or own flaight (lari atau melarikan diri). Dan masih banyak lagi komentar tentang hijrahnya Rasulullah tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang yang tidak senang dengan perjuangan beliau.
Syekh Muhammad Syaltut (mantan rektor Universitas al-Azhar Kairo) mengatakan bahwa hijrahnya Rasulullah beserta para sahabatnya itu bukanlah upaya lari untuk menyelamatkan diri dan bukan pula karena tidak mampu menghadapi kekuatan musuh yang besar atau untuk mencari serta menumpuk kekayaan dan mengejar kedudukan dan kekuasaan, tetapi hijrah ini mereka lakukan sebagai  kelanjutan dari hijrah nurani/hijrah qalbiyah untuk mempertahankan ideologi dalam rangka menegakkan kebenaran dan mengaktualisasikan akhlaqul karimah serta menghancurkan kebatilan.

Senada dengan pendapat ini adalah apa yang dikemukakan Dr. Muhammad al-Fahlan yang mengatakan bahwa hijrah Nabi bukan melarikan diri dari medan juang, dan bukan pula semata berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain, tetapi beliau berpindah menjauhkan diri dari bumi yang penuh kemusyrikan, bumi yang diperintah oleh kejahilan, kejahatan, dan kekejaman, menuju suatu tempat/bumi yang akan memancarkan sinar kebenaran, sinar keimanan, suatu upaya revolusioner untuk menebar cahaya iman untuk menerangi kegelapan jiwa, memberantas segenap kekejaman dan kezaliman.

HIJRAH DALAM AL-QUR’AN

Dalam Al-Qur’an tidak kurang dari tigapuluh ayat yang menyebut kata hijrah. Ayat-ayat tersebut menjelaskan dan menafsirkan makna hijrah itu sendiri sebagai sebuah solusi terakhir yang harus dilakukan manakala tidak lagi ditemukan cara atau jalan lain untuk melanjutkan misi dakwah dan atau mempertahankan keimanan. Hijrah dilakukan harus dengan penuh perhitungan, tidak hanya semata-mata karena terdesak situasi daerah yang akan ditinggalkan, akan tetapi daerah yang menjadi tujuan juga haruslah daerah yang memberikan harapan bagi cita-cita dan perjuangan, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya 14 abad silam.

Dalam Al-Qur’an, Allah memberi jaminan dan janji baik bagi mereka-mereka  yang melakukan hijrah itu dengan ampunan dan syurga. Allah berfirman: “Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti  pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya ... “ (Q.S. Ali Imran: 195).

Dalam surat an-Nahl: 41, Allah swt. berfirman:
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengatahui.”

Dalam ayat 110 surat yang sama  disebutkan pula: “Dan sesungguhnya Tuhanmu (Pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar, sesungguhnya Tuhanmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Ayat-ayat di atas telah menjelaskan sebab-sebab dan motivasi  hijrah. Dari ayat-ayat tersebut ditandaskan dengan jelas beberapa unsur dan kondisi yang memungkinkan atau memperbolehkan kita untuk hijrah. Unsur-unsur tersebut antara lain;  unsur pengusiran; unsur penyiksaan; unsur penganiayaan; dan unsur fitnahan.

Tindak kekejaman yang dilakukan rezim Quraisy  di Mekkah dan para Kuffar di sekitarnya telah mencapai puncak dan melewat batas toleransi; yakni terancamnya ketenteraman rohani dan jasmani. Maka pada kondisi inilah perintah hijrah turun kepada Nabi saw. Dengan kata lain, apabila seseorang tidak lagi memperoleh kebebasan, tidak lagi merdeka atau leluasa dalam menyebarkan dan mengmebangkan syariat Islam di mana ia berada, maka barulah hijrah itu boleh dilakukan.

Dalam menghindari siksaan, penganiayaan, dan fitnahan dalam menyebarkan dakwah islamiyah di Mekka Rasulullah juga pernah mengajak para sahabat  untuk hijrah ke negeri Habasyah dan ke Thaif. Walaupun banyak halangan dan rintangan dalam menjalankan dakwahnya, Rasulullah tetap tidak pernah berhenti, bahkan kobaran semangat juangnya itu ikut tumbuh membara di dada para sahabat. Hal ini dapat dilihat ketika upaya tekanan dari masyarakat Mekkah semakin kuat, para sahabat secara diam-diam memperkenalkan Islam  kepada orang-orang Yastrib.  Seorang da’i muda bernama Mus’ab bin Umair dikirim untuk mendampingi para sahabat itu. Dan dari sinilah akhirnya peduduk Madinah berduyun-duyun memeluk agama Islam.

ASPEK RUHANIAH DALAM PERISTIWA HIJRAH 
Tahap demi tahap perkembangan situasi orang-orang Madinah ini lebih tampak dan jelas  memberikan sambutan dengan lebih cepatnya mereka itu menerima ajaran Islam, sehingga hanya dalam kurun beberapa tahun saja (pada tahun 622 M) terwujudlah suatu perjanjian antara Nabi beserta para sahabatnya  di Mekkah dengan Kabilah Aus dan Kabilah Khazraj, di mana kedua belah pihak berjanji akan saling membela jiika ada penyerangan  dari pihak luar, dan akan membagi suka dan duka. Perjanjian yang dibuat secara rahasia ini  akhirnya sampai juga ke telinga orang-orang Quraisy. Akibatnya, orang-orang Yastrib yang datang ke Mekkah terus ditangkapi dan disiksa. Dan terhadap Nabi beserta sahabat-sahabatnya diteror terus menerus, baik secara fisik maupun mental. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran orang Quraisy jika nantinya perjanjian antara Nabi dan penduduk Yastrib tersebut betul-betul berjalan secara efektif, yang tentunya akan merugikan kelompok Quraisy secara politis.
Pada hakikatnya, Rasulullah beserta para sahabatnya sebelum melakukan hijrah fisik, beliau telah berulang kali melaksanakan hijrah qalbiyah, yaitu menjauhkan diri dari suasana kemusyrikan yang melanda masyarakat ketika itu. Mereka menjauhkan diri agar tidak terpengaruh dari suasana yang menyesatkan, dari tingkah laku kotor dan tekanan serta intimidasi. Dengan cara-cara seperti tadi, mental para sahabat dapat bertahan dan menjadi kuat, menjadi gigih dalam berjuang dan semakin teguh pendiriannya.
Oleh karena itulah, tetkala mereka harus benar-benar melakukan hijrah fisik, hati mereka tidak lagi merasa bimbang, karena hal demikian bukanlah berarti lari menyelamatkan diri, bukan pula karena takut dalam menghadapi musuh, tetapi mereka hijrah untuk mempertahankan perjuangan, untuk menyampaikan risalah islamiyah. Mereka hijrah melanjutkan hijrah qalbiyah yang sebelumnya telah pernah mereka lakukan dan sekaligus sebagai bentuk realisasi untuk menengakkan kebenaran dan melaksanakan akhlaq yang luhur.
Setelah sampai di Madinah, ada tiga aspek pokok yang dilakuan Rasulullah dalam rangka membangun tatanan masyarakat baru, yaitu;
  1. Iqamat sya’airul Islam, yakni menegakkan syi’ar agama Islam. Sebagai langkah yang dilakukan Nabi ini adalah mendirikan masjid Quba sebagai tempat ibadah dan sebagai tempat mengatur dan menkoordinir kegiatan-kegiatan lainnya.
  2. Membangun ekonomi Islam dengan mepererat persaudaraan seagama atau dikenal dengan nistilah mu’akhah al-islamiyah. Kehidupan ekonomi yang tadinya serba egois, kapitalis, diganti dengan ekonomi persaudaraan yang didasari oleh semangat sosial ukhuwah Islamiyah.  Pedagang Muhajirin yang datangnya dari Mekkah disatukan dengan petani-petani Anshor Madinah untuk menegakkan susunan baru bagi tatanan perekonomian menurut ajaran Islam.
  3. Menetapkan peraturan-peraturan dasar negara yang disabut Kitabun Nabi atau piagam tertulis dari Nabi. Para sarjana Barat menyebut piagam ini sebagai Constitution of Madina (konstitusi Madinah). Piagam inilah yang dianggap sebagai  First constitution of Islam(Undang-undang negara Islam yang pertama) atau the First Written Constitution on the World (konstitusi pertama di dunia)
Lombok Post, 2012 & 2014

0 komentar: