Navigation Menu

Isra' Wal Mi'raj

Isra’ dan Mi’raj Rasulullah Saw.
“Tour Spektakular Merenungi Kekuasaan Tuhan”
Oleh : Usman Jayadi

Terlintas indah bayangmu dalam renungan,
Penuh dengan senyum, penuh dengan keriangan.
Bertemu dengan Tuhan, karena engkau adalah kekasih mulia-Nya.
Sebagai umatmu saja, kami sangat bangga…
Apalagi dapat bertemu dalam lindap bayangmu yang nyata.
Rindu kami padamu, duhai yang terkasih…
Meskipun wajahmu tak tersketsakan dengan kenyataan yang abadi.
Tuhan, sampaikan salam kami,
Kepada hamba-Mu yang mulia itu… Rasulullah Sang Penjelajah Kekuasaan-Mu.
------------------------------

Dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembali lagi ke Makkah dalam waktu yang sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran diwahyukan Allah kepada Rasulullah sang manusia pilihan. Perjalanan ini membuktikan bahwa pengetahuan dan ketentuan Sang Illahi mencakup, bahkan merevolusi segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa ruang dan waktu.

Kebanyakan kaum intelek keberatan, kemudian menggugat: Tidaklah mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya  yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Tidaklah mungkin lalu lintas yang dilalui oleh Rasulullah SAW tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya gravitasi bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena hal tersebut tidak sesuai dengan sunatullah, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika. Demikian kilah mereka yang sama sekali tidak mengimani wahyu Illahi Rabbi.

Patut kita sadari bersama, bahwa pendekatan yang paling tepat untuk memahami peristiwa agung dan spektakular tersebut adalah dengan contextual iman yang seyakin-yakinnya. seperti yang dilakukan oleh Sayyidina Abu Bakar Al-Shiddiq, dalam ungkapannya: “Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya.” Oleh sebab itu, uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui spekulasi iman untuk mempercayai kebenaran tersebut berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh Allah dalam Al-Quranul Kariim.

Al-Quran adalah masa depan ruhani manusia demi mewujudkan keutuhan manusia itu sendiri sebagai hamba Allah. Deskripsi Al-Quran tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah salah satu sketsa untuk menskemakan ruhani manusia dengan keimanan. Hal ini terbukti jelas baik dalam bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam ayat-ayatnya yang terinci.
Tujuh bagian juz berharga dalam Al-Quran membahas pertumbuhan jiwa manusia sebagai pribadi-pribadi yang secara kolektif membentuk umat terbaik. Kemudian, bagian kedelapan sampai keempat belas, Al-Quran menekankan fundamental manusia seutuhnya serta kepribadian masyarakat dan pemerintahannya, dan gagasan pokok mulai bagian kelima belas mencapai akhir Al Qur’an menggambarkan sosok pribadi yang telah mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya, yakni al-insan al-kamil. Oleh karena itu, Histori Isra’ dan Mi’raj merupakan awal dari bagian tersebut hingga bagian kedua puluh satu, di mana kisah para rasul diuraikan dari sisi pandangan sebuah perjalanan panjang umat manusia di dunia. Kemudian, masalah perkembangan ruhani manusia secara individualitas diuraikan lebih detail sampai bagian ketiga puluh dengan pemaparan relasi manusia dengan kehidupan masyarakat seutuhnya.

Jika menengok cakupan Al Kalam dengan sederhana, para mufassirin, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan berbagai disiplin ilmu keduniaan, menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya. Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat sebelumnya. Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat tersebut. Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra’ dalam Al-Quran adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang berarti lebah. Mengapa? Karena makhluk ini memiliki banyak keajaiban. Keajaibannya bukan terlihat dari jenisnya (jantan dan betina), tetapi juga jenis yang bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga tidak hanya terlihat pada sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk lubang-lubang yang sama bersegi enam dan diselubungi oleh selaput yang sangat halus menghalangi udara atau bakteri menyusup ke dalamnya, juga tidak hanya terletak pada top mujarab madu yang dihasilkannya, yang menjadi makanan dan penyembuh banyak penyakit. Keajaiban binatang mungil ini mencakup kesemuanya, dan mencakup pula sistem kehidupan yang penuh disiplin dan berdedikasi tinggi di bawah pimpinan seekor “ratu”. Lebah yang berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan keistimewaan. Misalnya, bahwa sang ratu ini, karena rasa “malu” yang dimiliki dan dipeliharanya, telah menjadikannya enggan untuk mengadakan hubungan seksual dengan salah satu anggota masyarakatnya yang jumlahnya dapat mencapai sekitar tiga puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga tampak pada bentuk komunikasi dan cara mereka berbahasa, yang dalam hal ini telah dipelajari secara mendalam oleh seorang ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.

Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya menjadi pengantar keajaiban tindakan-Nya dalam luar biasanya Isra’ dan Mi’raj. Lebah juga dipilih sebagai pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya. Karena manusia seutuhnya “manusia mukmin” menurut Rasulallah adalah “bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang dihasilkan lebah itu.” (Al Hadits)

Dalam cakupan yang lebih kecil lagi, kita tengok bersama ayat pertama atau muqaddimah surat An-Nahl tersebut. Di sini Allah berfirman: “Telah datang ketetapan Allah (Hari Kiamat). Oleh sebab itu janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya.”

Dunia memang belum kiamat. Namun, mengapa Allah mengatakan kiamat telah datang? Al-Quran menyatakan “telah datang ketetapan Allah,” mengapa dinyatakan-Nya juga “Jangan meminta agar disegerakan datangnya?” Hal tersebut memberi isyarat sekaligus mukaddimah bahwa Tuhan tidak mengenal waktu untuk mewujudkan sesuatu. Hari ini, esok, juga kemarin, adalah perhitungan manusia, perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali tidak terikat matematika manusia berotak kiri karena Allah, Tuhan Yang Maha Menguasai Waktu. Dia tidak membutuhkan batasan untuk mewujudkan sesuatu. Dan hal ini ditegaskan-Nya dalam pengantar Surah An-Nahl dengan kalimat: “Maka perkataan Kami kepada sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya menyatakan kepadanya “kun” (jadilah), maka jadilah ia.” (QS 16:40).

Terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada akhirnya terdapat sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang dikehendaki-Nya. Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa. Kedua, segala sesuatu menurut para ilmuwan, juga menurut Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab tersebut yang mewujudkan sesuatu? Menurut ilmuwan, tidak. Demikian juga menurut Al-Quran. Apa yang diketahui oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului atau beriringan dengan terjadinya sesuatu.

Dengan demikian, yang dinamakan sunatullah tiada lain kecuali “a summary o f statistical averages” (pendapat dari sekumpulan data). Sehingga, sebagaimana dinyatakan oleh Pierce, ahli ilmu alam, apa yang kita namakan “kebetulan” dewasa ini, adalah mungkin merupakan suatu proses terjadinya suatu kebiasaan atau hukum alam. Bahkan Einstein, lebih tegas lagi, menyatakan bahwa semua yang terjadi diwujudkan oleh “superior reasoning power” (kekuatan nalar yang superior). Atau, menurut bahasa Al-Quran, “Al-’Aziz Al-’Alim”, Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Inilah yang ditegaskan oleh Tuhan dalam surat pengantar peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu dengan firman-Nya: “Kepada Allah saja tunduk segala apa yang di langit dan di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (QS 16:49-50).

Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini, digambarkannya bagaimana kelak orang-orang yang tidak mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus diambilnya. Allah berfirman: “Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka. Jangan pula kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang orang yang berbuat kebajikan.” (QS 16:127-128). Inilah pengantar Al-Quran yang disampaikan sebelum diceritakannya peristiwa Isra’ dan Mi’raj.

Agaknya, yang lebih wajar untuk dipertanyakan bukannya bagaimana Isra’ dan Mi ‘raj terjadi, tetapi mengapa Isra’ dan Mi ‘raj? Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian, Al-Quran, pada bagian kedelapan sampai bagian kelima belas, menguraikan dan menekankan pentingnya pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat beserta pemerintahannya. Ini mencapai akhir pada bagian kelima belas atau surat ketujuh belas, yang tergambar pada pribadi hamba Allah yang di-isra’-kan serta nilai-nilai yang diterapkannya dalam masyarakat beliau. Karena itu, dalam kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam surat Al-Isra’), ditemukan sekian banyak petunjuk untuk membina diri dan membangun masyarakat.

Pertama, ditemukan petunjuk untuk melaksanakan shalat lima waktu (pada ayat 78). Dan shalat ini pulalah yang merupakan inti dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, karena shalat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia sesungguhnya. Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal, karena shalat merupakan perwujudan riil relasi hamba dengan Tuhan-nya  yang menggambarkan pengetahuan tentang tata kerja semesta ini, yang berjalan di bawah kesatuan system Illahi. Shalat juga menggambarkan petunjuk kemahaluarbiasaan semesta yang total, yang semuanya diawasi dan dikendalikan oleh kekuatan Yang Mahadahsyat, Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila demikian, maka tidaklah keliru bila dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya.

Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena, tidak seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah mengharap atau merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada Dia Yang Maha Bijaksana. Hal ini tentunya menjadi bukti tanda kebejatan akhlak dan kerendahan esetetika kita kepada-Nya yang datang menghadapkan diri hanya pada saat didesak oleh kebutuhan-kebutuhan pribadi yang tidak masuk akal.

Shalat dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena shalat, dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar pembangunan. Masyarakat Romawi Kuno mencapai puncak keahlian dalam bidang arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan para ahli, juga karena adanya dorongan tersebut. Karena itu, Alexis Carrel menyatakan: “Apabila pengabdian, shalat, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut.” Untuk diingat, Alexis Carrel bukanlah seorang yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Ia adalah seorang dokter yang telah dua kali menerima hadiah Nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung gereja serta pencangkokannya. menurut Larouse Dictionary, Alexis Carrel dinyatakan sebagai satu pribadi yang pemikiran-pemikirannya secara mendasar akan berpengaruh pada penghujung abad XX ini.

Statement beberapa ilmuwan ini sejalan dengan penegasan Al-Quran yang ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang peristiwa Isra’ dalam surat Al-Nahl ayat 26. Di sana tersketsa pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat tersebut: “Allah menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan datanglah siksaan kepada mereka dari arah yang mereka tidak duga.” (QS 16:26).

Petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur, antara lain adalah: “Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mereka menaati Allah untuk hidup dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS 17:16).

Ditekankan dalam surat ini bahwa “Sesungguhnya orang yang hidup berlebihan adalah saudara-saudara setan” (QS 17:27). Dan karenanya, hendaklah setiap kita hidup dalam kesederhanaan dan keseimbangan: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu dan sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal (QS 17:29).

Kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang amaliyah dan ibadah. Kesederhanaan dalam ibadah shalat misalnya, tidak hanya tergambar dari adanya pengurangan jumlah shalat dari lima puluh menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam petunjuk yang ditemukan pada surat Al-Isra’, yakni berkenaan dengan suara ketika dilaksanakan shalat: “Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya.” (QS 17: 110). Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di saat yang sama, shalat yang dilaksanakan dengan “jalan tengah” itu tidak mengakibatkan gangguan atau mengundang gangguan, baik gangguan tersebut kepada saudara sesama Muslim atau non-Muslim, yang mungkin sedang belajar, berzikir, sedang sakit, ataupun bayi-bayi yang sedang tidur nyenyak. Karena dalam kandungan ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan menekankan pentingnya persatuan masyarakat yang menyeluruh dalam kesatuan yang utuh. Dengan demikian, masing-masing orang dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan bidangnya, tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan orang lain. Ini sesuai dengan firman Allah: “Katakanlah wahai Muhammad, “Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan kemampuannya masing-masing.” Tuhan lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS 17:84).

Akhirnya, sebelum uraianyang terambil dari beragam referensi ini saya sudahi, marilah kita renungkan ayat terakhir Surah Al-Isra’ atau Baniy Israil yang menceritakan peristiwa spektakular dan controversial ini: Katakanlah wahai Muhammad: “Percayalah kamu atau tidak usah percaya (keduanya sama bagi Tuhan).” Tetapi sesungguhnya mereka yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila disampaikan kepada mereka, maka mereka menyungkur atas muka mereka, sambil bersujud.” (QS 17: 107).

Semoga kita semua mampu memetik hikmah dari perjalanan luar biasa ini sehingga dapatlah kiranya kita hidup dalam nuansa penuh perenungan akan kehebatan Allah, Tuhan Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa. Amin ya Rabbal ‘alamin…!!! Semoga bermanfaaat.

Referensi:
-        ISRA’ MI’RAJ oleh Ibnu Hajar al-Asqalani & lmam as-Suyuthi;
-        Kekasih Allah Muhammad; Kedalaman Spiritual & Arti Batiniah Berbagai Episode Kehidupannya oleh Seyyed Hossein Nasr;
-        Kisah Menakjubkan dalam Kehidupan Rasulullah Saw oleh Fuad Abdurrahman;
-        Air Mata Rasulullah oleh Fuad Kauma;

-        Dll.

(Lombok Post, 2012)

0 komentar: