Navigation Menu

Hakikat Kita Selaku Manusia


HAKIKAT KITA SEBAGAI MANUSIA

Oleh : Usman Jayadi

Dalam suasana kemajuan sains dan teknologi dewasa ini, masalah hakikat manusia dan kemanusiaan menjadi semakin aktual untuk dikaji. Urgensi kajian ini lebih terasa lagi setelah disadari bahwa pengetahuan kita sendiri tentang hakikat kita sebagai manusia masih sangat terbatas. Keterbatasan pengetahuan tersebut disebabkan multikompleksnya permasalahan manusia. Selain itu, manusia adalah satu-satunya makhluk ciptaan Allah yang dihembuskan roh ciptaan Allah ke dalam dirinya.

Persoalan roh adalah urusan Tuhan, sementara manusia hanya diberikan sedikit pengetahuan tentang hal itu. Kita hanya mengetahui yang bersifat lahiriah saja, tidak menjangkau hal-hal yang berisifat immaterial dan dimensi spiritual dari manusia. Oleh karena itu, tulisan kali ini mencoba memberikan jawaban terhadap pertanyaan: Siapa manusia itu? Dan untuk apa manusia diciptakan? Tulisan ini terinspirasi dari berbagai sumber ilmu tasawuf yang membahas dengan rinci akan hakikat manusia dan kemanusiaan, yang mudah-mudahan isi dari tulisan ini dapat jadikan sebagai syarat untuk mengkaji siapa diri kita sebenarnya.


HAKIKAT MANUSIA
Para ahli dari berbagai disiplin ilmu telah mengemukakan jawaban yang bervariasi tentang manusia. Pandangan ahli Ilmu Mantiq (Logika) menyatakan bahwa manusia adalah hewan yang berfikir, ahli Antropologi Budaya mengatakan bahwa manusia adalah makhluk budaya (homo sapiens), Sosiolog berpendapat, manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon), kaum agamawan mengatakan manusia adalah makhluk yang senantiasa bergantung kepada kekuatan ‘Supranatural’ yang ada di luar dirinya, dan kaum komunis berpandangan bahwa manusia adalah makhluk biologis dan ekonomis.

Menurut golongan yang terakhir ini, manusia sebagai makhluk biologis, yang diutamakan adalah unsur materi, karena itu Tuhan yang bersifat immaterial (transenden) dan agama adalah candu masyarakat. Adapaun manusia sebagai makhluk ekonomis (homo economicus) maka faktor kerja dan produksilah yang merupakan hakikat manusia.

Pandangan yang dikemukakan di atas hanya memberikan gambaran sebagian dari potensi dan kemampuan yang dimiliki manusia, dan belum memberikan gambaran secara utuh siapa sesungguhnya yang dimaksud manusia.

Al-Qur’an berbicara tentang manusia dimulai dari QS. al-`Alaq, surah yang pertama diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. Dalam surah itu, Allah tiga kali menyebut kata al-Insan (manusia), yang mencerminkan gambaran umum tentang manusia; pertama, bahwa manusia tercipta dari `alaq (segumpal darah); kedua, bahwa hanya manusia yang dikaruniai ilmu; dan ketiga, bahwa manusia memiliki sifat sombong yang bisa menyebabkan lupa kepada sang Pencipta.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Karakter umum manusia pada surah yang pertama ini diperjelas dan dirinci pada surah-surah yang turun kemudian, seperti QS. al-Muminun: 12-14

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang tersimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging. Kemudia Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”

Allah sengaja berulangkali mengungkapkan bahwa manusia tercipta dari tanah, air yang memancar di antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan, dari segumpal darah, dan seterusnya, dengan tujuan untuk mengingatkan manusia atas kelemahan dan kehinaannya, dan agar manusia tidak arogan dan sombong, melebihi kemampuannya. Karena, dari asal kejadian yang bersifat material inilah manusia cenderung berprilaku dan memilki sifat-sifat rendah, antara lain:

1. Melampaui batas

2. Bersifat tergesa-gesa,

3. Suka berkeluh kesah,

4. Suka membantah

5. Ingkar dan tidak berterima kasih kepada Tuhan

Apabila manusia memperturutkan prilaku dari sifat-sifat di atas maka ia akan semakin jauh dari hakikat kemanusiaannya.

Al-Qur’an, di samping menunjukkan sifat-sifat kelemahan yang dimiliki manusia, yang dapat meruntuhkan derajat kemanusiaannya ke tempat yang rendah dan tercela, juga menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki potensi dan kemampuan untuk menempati tempat yang tertinggi dan terpuji di antara makhluk ciptaan Allah.


UNTUK APA MANUSIA DICIPTAKAN?
Manusia diciptakan bukan untuk hidup sekehendaknya, bukan pula untuk makan, hura-hura, dan mencari kebebasan tanpa batas. Tujuan hidup manusia adalah untuk mendapatkan ridha Allah (mardhatillah), sebagaimana pernyataan Allah dalam QS. al-An`am: 162

“Katakanlah,”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan Semesta Alam”.

Dalam mencari ridha Allah, manusia diwajibkan untuk menghambakan diri kepada-Nya dalam segala aktivitas yang dilakukannya. Tugas suci inilah yang disebut ibadah dalam pengertian umum dan sekaligus sebagai tujuan diciptakannya manusia. QS. adz-Dzariyat: 56 menyebutkan:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.

Dalam mengemban tugas pengabdian, manusia diberi peran oleh Allah swt. sebagai khalifah di muka bumi ini. Peran kekhalifahan ini dalam rangka memelihara, melestarikan dan memakmurkan jagad raya ini.

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi”. (QS. al-An`am: 165)

Dengan demikian, hakikat manusia menurut al-Qur’an adalah makhluk ciptaan Allah yang memilki 2 (dua) dimensi; dimensi meterial dan dimensi spiritual. Dengan dimensi material (tanah), manusia dipengaruhi oleh kekuatan alam seperti makhluk-makhluk lain, sehingga ia butuh makan, minum, hubungan seksual, dan sebagainya. Dimensi ini mengantar manusia ke alam kehidupan yang kurang bermakna, cenderung menjadi makhluk yang amat aniaya, ingkar nikmat, banyak membangkang, tidak sabar, dan bersifat keluh-kesah. Sebaliknya, dengan dimensi spiritual (roh) , manusia diantar untuk cenderung kepada keindahan, kebenaran, pengorbanan, kesetiaan, penghambaan kepada Allah, dan sebagainya. Dimensi ini membawa manusia kepada suatu realitas mengaktualkan posisinya sebagai `abid (hamba) dan khalifah menuju kepada Yang Maha Sempurna.

Dengan memenuhi kebutuhan hidup manusia berdasarkan pada kedua dimensi tersebut sesuai dengan petunjuk Ilahi, maka manusia akan menemukan hakikat kemanusiaannya.

*Dikutip dari berbagai sumber

(Lombok Post, 2012)

0 komentar: